Minggu, 24 Agustus 2008

Masyarakat Transparan

Masyarakat Transparan‭ ‬:‭
‬Harapan Dari Postmodernisme


II.‭ ‬Gianni Vattimo:‭ ‬Selayang Pandang‭


Gianni Vattimo dilahirkan pada tahun‭ ‬1936‭ ‬di kota Turino.‭ ‬Ia dikenal sebagai seorang pemikir Italia kontemporer yang mengusung pemikiran postmodernisme.‭ ‬Pendidikan filsafatnya ditempuh di Universitas Turino.‭ ‬Gelar doktor diperolehnya di bawah bimbingan‭ ‬Luigi Pareyson,‭ ‬pemikir eksistensialisme Italia.‭ ‬Setelah itu ia melanjutkan belajar filsafat di Universitas Heidelberg Jerman sebagai murid‭ ‬Hans-Georg Gadamer dan‭ ‬Karl Löwith‭ (‬keduanya adalah murid Heidegger di Marburg pada tahun‭ ‬1920-an‭)‬.‭ ‬Pada periode inilah,‭ ‬minat filosofis Vattimo diarahkan pada bidang hermeneutika dan ontologi.‭ ‬Analisa filosofisnya kemudian diarahkan pada Heidegger,‭ ‬Schleiermacher,‭ ‬dan Nietzsche.


Sejak tahun‭ ‬1960-1970,‭ ‬Vattimo terlibat dalam pergerakan politik Partai Radikal kota Turino,‭ ‬salah satu partai golongan kiri Italia.‭ ‬Peristiwa pergerakan mahasiswa pada tahun‭ ‬1968‭ ‬di Italia4‭ ‬kemudian banyak menjadi bahan refleksi dalam karya-karya Vattimo selanjutnya.‭ ‬Vattimo dikenal secara internasional lewat makalahnya tentang Heidegger yang dibawakan pada‭ ‬Royaumont Colloquium on Heidegger.‭ ‬Pada tahun‭ ‬1982,‭ ‬ia menggantikan gurunya,‭ ‬Luigi Pareyson,‭ ‬sebagai dosen filsafat teoritis dan estetika di Universitas Turino.‭ ‬Setahun kemudian,‭ ‬ia mengeluarkan suatu analisa tentang‭ ‘‬pemikiran yang lemah‭’ (‬il pensiero debole‭ ‬/‭ ‬the weak thought‭) ‬yang menimbulkan perdebatan cukup panjang di Italia selama era‭ ‬1980-an.‭ ‬Pemikirannya itu dibukukan dengan judul‭ ‬La fine della modernita‭ (‬The End of Modernity,‭ ‬1985‭)‬.‭


Karya-karya Vattimo yang lainnya adalah‭ ‬Essere,‭ ‬storia e linguaggio in Heidegger‭ (‬Being,‭ ‬History,‭ ‬and Language in Heidegger‭;‬ 1963‭); ‬Il soggetto e la maschera‭ ‬(The Subject and The Mask‭;‬ 1974‭)‬; La societĂ  transparente‭ (‬The Transparent Society‭;‬ 1989‭)‬,‭ ‬serta sejumlah besar kumpulan esai.‭


III.‭ ‘‬Pemikiran yang Lemah‭’


Menurut Vattimo,‭ ‬dalam bukunya‭ ‘‬The Transparent Society,‭’ ‬masyarakat di era postmodern mengalami perubahan makna emansipasi dari yang idealnya pernah dikemukakan oleh era modern.5‭ ‬Modernisme memahami emansipasi sebagai suatu kegemilangan proses manusia menjadi dirinya sendiri terutama melalui perasionalisasian semua aspek kehidupan yang berpuncak pada pen-teknologisasi-an bidang-bidang kehidupan.‭ ‬Postmodernisme,‭ ‬dalam keterkaitannya dengan modernisme‭ (‬bukan keterputusan total darinya6‭)‬,‭ ‬mau mengembalikan proses‭ ‬humanisasi yang karena alasan-alasan metafisis7‭ ‬untuk mendukung rasionalisme Barat,‭ ‬terselewengkan dalam kerangka perwujudan sejarah unilinier‭ (‬artinya sejarah yang berada dalam satu pusat:‭ ‬Barat dan ideologinya‭)‬.8‭


Dasar dari pandangan Vattimo ini adalah bahwa pemikiran metafisis tentang Ada dan kebenarannya yang selama ini mewarnai pencarian pemikiran Barat telah menimbulkan akibat-akibat yang merugikan bagi kemanusiaan‭ (‬kolonisasi Barat atas daerah-daerah lainnya‭)‬.‭ ‬Berpijak dari Heidegger,‭ ‬Vattimo menerima bahwa pertanyaan filosofis harus kembali pada tema perbedaan ontologis antara‭ ‬Ada dan‭ ‬adaan yang sudah digulati semenjak‭ ‬Parmenides dan‭ ‬Heraklitos.‭ ‬Ada,‭ ‬menurut Heidegger,‭ ‬berbeda dengan adaan.‭ ‬Tidak pernah dapat didefinisikan dengan tepat apa itu Ada.‭ ‬Ada hadir dalam kompleksitas yang tetap,‭ ‬otonom dan bersifat mendasar,‭ ‬yang hadir dalam setiap adaan namun sekaligus juga tidak sama dengan adaan itu sendiri.‭ ‬Maka,‭ ‬tidak mungkin untuk mendefinisikannya sebagai suatu entitas duniawi yang berkedudukan sebagai subyek dan obyek.


Dengan itu pula Heidegger menghancurkan dikotomi filsafat tradisional antara‭ ‬subyek dan‭ ‬obyek,‭ ‬karena mereka hadir dalam kawasan adaan.‭ ‬Perbedaan ontologis yang ada kemudian adalah antara Ada dan kawasan adaan itu sendiri.‭ ‬Karena sulit didefinisikan Ada justru menjadi tema filosofis yang lebih utama daripada tema metafisika Barat tentang rasio dan logika.‭ ‬Metafisika Barat dipandang Heidegger sebagai yang menolak tema tentang Ada karena pertanyaan-pertanyaan dalam tema itu berimplikasi pada keraguan akan rasio subyek yang menjadi dasar metafisika.‭ ‬Lebih tepatnya,‭ ‬metafisika Barat melupakan permasalahan Ada karena pencariannya akan dasar kebenaran diletakkan dalam relasi antar adaan,‭ ‬dalam pembedaan antara subyek dan obyek,‭ ‬dan bukan kepada Ada yang sudah jauh lebih dulu hadir.9


Nietzsche,‭ ‬yang nihilisme-nya berkembang pesat di Eropa,‭ ‬menjadi panutan bagi Vattimo dalam membongkar pemikiran metafisika tradisional.‭ ‬Pembongkaran ini dimungkinkan begitu nihilisme berhasil menyingkapkan bahwa jaminan atas klaim kebenaran metafisika barat selama ini tidak lebih dari nilai‭ ‬subyektivitas individu atau kelompok sosial tertentu.‭ ‬Keyakinan yang terekspresikan keluar sebagai‭ ‘‬kebenaran‭’ ‬itu sebenarnya hanyalah ekspresi dari individu/kelompok sosial tersebut atas kehendaknya untuk berkuasa.‭ ‬Maka apa yang disebut sebagai rasio dalam metafisika Barat juga hanyalah semacam‭ ‬retorika persuasif untuk membenarkan penguasaan‭ ‬status quo tertentu.‭ ‬Dengan demikian,‭ ‬nihilisme bertujuan untuk menyerang segala bentuk sistem rasionalitas‭ (‬sebagai sistem retoris persuasif‭) ‬yang mendukung kebenaran-kebenaran metafisis‭ (‬Tuhan,‭ ‬jiwa,‭ ‬esensi‭) ‬sebagai inti yang tetap dari segala sesuatunya.10‭ ‬Filsafat perbedaan‭ (‬philosophy of difference‭)‬,‭ ‬yang dikemukakan baik oleh Nietzsche dalam corak nihilistiknya,‭ ‬dan kemudian direvisi oleh Heidegger,‭ ‬dengan sangkalannya pada jaminan untuk berbagai macam usaha mengadakan pembedaan antara benar/salah,‭ ‬logis/tidak logis,‭ ‬pusat/pinggir,‭ ‬dll.,‭ ‬dengan demikian menunjukkan bahwa satu-satunya dunia yang ada adalah‭ ‬dunia interpretasi,‭ ‬dunia perbedaan antara berbagai macam term keyakinan manusia.‭ ‬Demikianlah semakin tampak hubungan antara nihilisme dan hermeneutika.‭ ‬11‭


Bertitik tolak dari filsafat perbedaan ini,‭ ‬Vattimo menelaah kondisi modernitas.‭ ‬Pertama,‭ ‬Vattimo membatasi periode modernitas itu sendiri.‭ ‬Untuk itu,‭ ‬ia memakai istilah‭ ‬post-history.‭ ‬Dengan istilah ini,‭ ‬Vattimo mau menunjukkan bahwa modernitas seringkali berada dalam ruang lingkup sejarah yang selalu berpusat pada dua makna:‭ ‬kemajuan‭ (‬progress‭) ‬dan mengatasi‭ (‬overcoming‭)‬.‭ ‬Apa yang modern adalah apa yang menjadi langkah maju dari pergerakan sejarah sebelumnya dan mempunyai sifat mengatasi permasalahan sebelumnya.‭ ‬Berbeda dari modernisme,‭ ‬seni yang dimulai pada awal abad‭ ‬20‭ (‬avant-garde,‭ ‬dkk.‭)‬,‭ ‬modernisme menurut Vattimo sudah dimulai dari sejak‭ ‬Descartes‭ (‬akhir abad ke-15‭) ‬ketika berkembang rasionalisme sampai dengan saat ini.‭


Belajar dari Heidegger dan Nietzsche bahwa yang akan dihadapi untuk keluar dari dan menolak sistem metafisika Barat dengan ciri khas pemikiran modernnya yang‭ ‘‬maju,‭ ‬mengatasi‭’ ‬itu adalah suatu dilema‭ (‬karena‭ ‘‬mengatasi‭’ ‬adalah kategori modernitas dan sistem pemikiran lain yang‭ ‘‬mengatasi‭’ ‬metafisika Barat itu tidak ada sehingga usaha ini hanya akan jatuh lagi pada sistem pemikiran modernisme‭)‬,‭ ‬Vattimo dengan demikian menyimpulkan bahwa tahap akhir modernitas,‭ ‬dan munculnya posmodernitas,‭ ‬ditandai dengan adanya suatu hubungan unik dengan pemikiran metafisika Barat yang sekaligus kritis namun juga tetap bergantung padanya.‭ ‬Kurang lebihnya,‭ ‬Vattimo menyebutkan patokan waktu seperempat abad terakhir dari abad‭ ‬19,‭ ‬yaitu ketika Nietzsche dengan nihilismenya berkembang di Eropa.‭ ‬Namun dengan itu pun sebenarnya tidak ada saat tepat historis yang menandai keterputusan dengan modernitas.‭ ‬Sebab,‭ ‬bagi Vattimo baik modernitas maupun postmodernitas terjadi‭ ‘‬dalam ruang konseptual dan historis yang sama‭’ ‬supaya dapat terjadi hubungan seperti yang sudah diungkapkan di atas.‭ ‬Dengan demikian istilah‭ ‬post history yang dipakai Vattimo memang ditujukan untuk mengungkapkan keberakhiran sejarah dalam paham modernitas.12 


Periode ini menurut Vattimo diwarnai oleh penggunaan metafisika sebagai sistem pemikiran filsafat yang selalu berdasar pada pertanyaan tentang penggunaan rasio dan kebenaran logis.‭ ‬Teknologi abad‭ ‬20‭ ‬dipandang oleh Vattimo dalam kerangka sistem filsafat ini sebagai tahap paling maju dari seluruh pemikiran metafisis Barat.‭ ‬Artinya segala bidang kehidupan kemudian sudah mencapai tahap di mana segala sesuatunya sudah mengalami rasionalisasi sampai pada titik ekstrim.‭ ‬Mengikuti Heidegger,‭ ‬dan Nietzsche,‭ ‬Vattimo setuju bahwa yang telah terjadi dalam modernitas sesungguhnya adalah‭ ‬lupa-akan-Ada.‭ ‬Maka yang harus dilakukan berikutnya adalah untuk mempertanyakan kembali kebenaran Ada itu dalam arah yang berbeda dari tradisi metafisis sebelumnya.‭


Vattimo kemudian memahami kebenaran dan Ada sebagai peristiwa‭ (‬events‭)‬.‭ ‬Kebenaran dan Ada yang semula diyakini ada dan dijamin oleh term metafisis sekarang direduksi menjadi nilai,‭ ‬perspektif,‭ ‬keyakinan antar manusia yang tidak pernah tetap.13‭ ‬Konsekuensinya kemudian adalah dibutuhkannya interpretasi terus menerus atas perspektif-perspektif tersebut.‭ ‬Karena reduksi Ada dan kebenaran tersebut menjadi nilai dan masing-masing nilai dari setiap individu diyakini benar‭ (‬tidak ada jaminan metafisis lagi atas satu Nilai yang paling benar‭)‬,‭ ‬Vattimo lebih jauh meyakini bahwa kodrat yang benar dari semua nilai adalah dapat ditukarnya nilai-nilai itu satu sama lain.‭ ‬Dan inilah yang terjadi dalam proses interpretasi.‭


Apa yang kemudian diarah dalam proses ini adalah interpretasi terus menerus atas berbagai aspek yang dijumpai dalam eksistensi manusia,‭ ‬dan ini akan mengakhiri kebutuhan pencarian dasar baru bagi realitas.‭ ‬Dengan demikian kategori pemikiran metafisis Barat‭ (‬logika,‭ ‬Ada,‭ ‬dan kebenaran‭) ‬akan terus diperlemah karena setiap pengalaman eksistensi direduksi menjadi pengalaman fiksional lewat proses interpretasi.‭ ‬Inilah yang kemudian menjadi‭ ‬trade mark dari filsafat Vattimo,‭ ‬yang sering dikenal sebagai‭ ‘‬pemikiran yang lemah‭’‬.‭ ‬Dari pemikiran yang lemah inilah kemudian Vattimo melahirkan filsafat yang menurutnya khas posmo,‭ ‬yaitu‭ ‬ontologi hermeneutika.‭ ‬Ontologi hermeneutika adalah filsafat yang menggunakan strategi destrukturasi sebagai senjatanya.‭ ‬Strategi ini bekerja dengan cara mendekonstruksikan segala pemikiran metafisis Barat dengan kategori-kategorinya lewat analisa nihilistik dan kemudian menyingkapkannya menjadi interpretasi di antara interpretasi-interpretasi lainnya.‭


Vattimo kemudian mengacu pada dekonstruksi yang dilakukan Heidegger terhadap humanisme.‭ ‬Dalam dekonstruksinya itu,‭ ‬Heidegger melihat terjadinya‭ ‬krisis atas humanisme yang justru disebabkan oleh semakin melemahnya pemikiran metafisika di akhir sejarah yang kemudian berpuncak dalam pemikiran Nietzsche tentang wafatnya Tuhan sebagai jaminan metafisis.‭ ‬Proses terjadinya hal ini oleh Vattimo dijelaskan sebagai berikut.‭ ‬Di satu sisi,‭ ‬humanisme‭ ‬14‭ ‬membutuhkan metafisika sebagai penjaminnya untuk menjadikan manusia dan rasionya sebagai pusat dari eksistensi.‭ ‬Di sisi lain,‭ ‬metafisika itu sendiri terus hidup selama ia tidak menunjukkan karakter reduktifnya sampai pada manusia berasio‭ (‬sebagaimana yang ditunjukkan oleh humanisme‭)‬.‭ ‬Efek dari reduksi metafisis ini,‭ ‬seperti sudah dikemukakan sebelumnya,‭ ‬paling jelas tampak dalam bentuk ekstrimnya pada fenomena teknologi sebagai bentuk rasionalisasi dunia.‭ ‬Namun dengan adanya teknologi tersebut,‭ ‬metafisika justru menunjukkan reduksinya lagi kepada humanisme.‭ ‬Akibatnya humanisme kehilangan,‭ ‬atau tidak dapat lagi menunjukkan karakter alternatifnya terhadap teknologi sebagaimana sebetulnya dicita-citakan oleh humanisme.‭ ‬Teknologi telah mengasingkan manusia karena teknologi telah menuntut sebelum waktunya hasil yang harus dicapai bahkan juga oleh humanisme itu sendiri.‭ ‬Dengan demikian metafisika sampai pada saat pelemahannya.‭ ‬Dan bersamaan dengan Tuhan,‭ ‬sebagai jaminan terakhir prinsip metafisis,‭ ‬diakui wafat,‭ ‬humanisme dengan demikian juga ikut mengalami krisis.15‭ ‬Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan kemudian bahwa metafisika berkoinsiden dengan humanisme.‭ ‬Lebih jauh lagi,‭ ‬terjadilah kemudian dalam koinsidensi ini apa yang oleh Vattimo dinamakan relasi identitas,‭ ‬yaitu humanisme adalah metafisika,‭ ‬dan sebaliknya


Mengatasi krisis humanisme ini,‭ ‬Vattimo berusaha menunjukkan karakter interpretatif atas aspek humanisme dalam eksistensi.‭ ‬Untuk itu pertama-tama,‭ ‬Vattimo menyerang teknologi sebagai reduksi metafisika paling ekstrim atas rasionalitas manusia.‭ ‬Ia menunjukkan bahwa teknologi harus dikembalikan pada esensinya sebagai yang berasal dari metafisika dan reduksinya atas manusia.‭ ‬Bahwa teknologi tidak beresensi pada dirinya sendiri sebagai yang mampu menghasilkan kebenaran karena begitu menjerumuskan dunia untuk percaya pada realitas yang diciptakannya sebagai satu-satunya realitas yang nyata,‭ ‬yang memang tidak bisa dihindari lagi sebagai hasil yang pasti keluar dari sistemnya sendiri.‭ ‬Realitas teknologi kemudian akan diperlemah sebagai salah satu realitas yang dihasilkan dari manusia,‭ ‬di antara realitas eksistensi manusia lainnya.‭ ‬Dan inilah sisi interpretatif dari dekonstruksi.‭ ‬Dekonstruksi atas teknologi ini kemudian akan berimplikasi pada terbebaskannya humanisme dari reduksinya oleh metafisika.‭ ‬Dengan demikian akan tercapailah keberlakuan proses filsafat posmo yang disebut ontologi hermeneutika itu.‭ ‬Suatu filsafat yang mengacu pada metafisika tetapi yang sekaligus juga membebaskan dirinya dari kecenderungan reduktif metafisika tersebut.


IV.‭ ‬Transparansi Postmodernitas dan Pencapaiannya‭


Pemberlakuan ontologi hermeneutika akan membawa postmodernitas sampai pada‭ ‬transparansi diri‭ (‬self-transparency‭)‬16‭ ‬manusia.‭ ‬Pencapaian transparansi diri manusia bukanlah hanya pada rasionya,‭ ‬tetapi pada keseluruhan dirinya yang terejawantahkan dalam lingkungan tempat hidupnya,‭ ‬dalam interaksinya dengan manusia lain dan dengan situasi jaman yang terus berubah.‭ ‬Semuanya itu mengisyaratkan perlunya interpretasi atas pencapaian diri manusia dalam setiap kesempatan.‭ ‬Hanya dengan itulah transparansi diri manusia akan dapat dipahami secara benar.‭


Manusia akan mencapai transparansi dirinya bukan dalam kerangka sejarah yang unilinier.‭ ‬Paham sejarah unilinier ikut mengalami kehancuran bersama pemikiran metafisika Barat yang penuh dengan jaminan metafisis klaim kebenaran idealnya paham kemanusiaan Barat yang mengutamakan rasio.‭ ‬Paham sejarah yang memusatkan diri pada suatu pusat sebagai tolok ukur atas peristiwa-peristiwa kemajuan‭ (‬progress‭) ‬dan mengatasi‭ (‬overcoming‭) ‬tantangan sebelumnya dalam paham Barat ini terbukti hanya akan menimbulkan penindasan pada kultur-kultur lainnya karena dipandang tidak sesuai dan harus disesuaikan dengan paham kesejarahan Barat.17‭ ‬Tidak terjaminnya emansipasi yang sama pada setiap manusia lewat paham sejarah Barat ini menimbulkan pemberontakan dari subkultur-subkultur yang berniat untuk menunjukkan identitasnya.‭


Ironinya bagi modernitas adalah bahwa pemberontakan itu justru terjadi karena teknologi yang dihasilkannya juga melahirkan masyarakat media komunikasi yang memungkinkan subkultur dari dalam maupun luar Eropa untuk tampil ke permukaan dan berbicara atas nama dirinya sendiri.‭ ‬Di sinilah inti argumen Vattimo.‭ ‬Pertama,‭ ‬lahirnya teknologi dan media massa menentukan lahirnya masyarakat postmodern.‭ ‬18‭ ‬Kedua,‭ ‬masyarakat postmodern ini justru lebih kompleks daripada masyarakat yang transparan,‭ ‬bahkan cenderung‭ ‬chaotic.‭ ‬Ketiga,‭ ‬namun justru dalam kekacauan itulah terletak harapan manusia akan emansipasi yang murni,‭ ‬yang akan menghantar sampai pada transparansi diri sepenuhnya.‭ ‬Penjelasan atas ketiga argumen tersebut akan diuraikan berikut ini.‭


Masyarakat media komunikasi lahir sebagai hasil pembentukan ilmu pengetahuan manusia.‭ ‬Tujuan pembentukan ilmu pengetahuan itu adalah untuk merasionalisasikan dunia dalam hubungan sebab akibat yang dapat diatur oleh manusia.‭ ‬Demikian misalnya usaha yang dilakukan oleh ilmu pengetahuan alam.‭ ‬Sementara ilmu pengetahuan sosial lebih menunjukkan karakter komunikatif dari eksistensi manusia modern yang akan mengembangkan teknologi lebih dari sekedar penguasaan alam dan menjadi sistem pemancaran informasi

Usaha ini berlangsung dengan‭ ‘‬amat berhasil‭’ ‬sehingga bagi orang seperti‭ ‬Karl Otto Apel‭ ‬19,‭ ‬masyarakat transparan adalah perwujudan dari ilmu sosial untuk menghasilkan masyarakat komunikasi tak terbatas.‭ ‬Bagi Vattimo,‭ ‬masyarakat transparan bukanlah seperti itu.‭ ‬Karena jika demikian,‭ ‬masyarakat tak ubahnya hasil percobaan ilmuwan ilmu pengetahuan alam ataupun sosial di laboratorium.‭ ‬Sementara ilmu itu sendiri tentu saja juga tidak bebas nilai.‭ ‬Masyarakat transparan,‭ ‬menurut Vattimo memang terkait pembentukannya dengan ilmu pengetahuan,‭ ‬yaitu ilmu pengetahuan yang mampu menunjukkan adanya berbagai macam sistem simbolis yang sedang menjadi.‭ ‬Di sinilah letak kebenaran dan juga keilmiahan ilmu pengetahuan,‭ ‬yaitu ketika ia tidak hanya berhasil memperlihatkan kepositifannya,‭ ‬melainkan juga berhasil memperlihatkan adanya kontinuitas,‭ ‬korespondensi,‭ ‬dan dialog antar teks dari berbagai macam kultur.‭ ‬20‭

Vattimo memaknai kata‭ ‘‬transparan‭’ ‬sebagai suatu keadaan di mana berbagai macam dialektika yang dijumpai dalam keberasalan masing-masing subkultur masyarakat semakin terbebas,‭ ‬terdisorientasi dari ideologi tunggal penguasa makna.21‭ ‬Saat itu terjadilah apa yang oleh Heidegger disebut sebagai eksplosi dunia makna‭ (‬Weltanshauungen‭)‬.‭ ‬Realitas sekarang justru terbentuk sebagai interseksi berbagai macam imaji yang butuh diinterpretasikan dan direkonsiliasikan satu sama lain.


Emansipasi transparansi diri tercapai ketika pluralitas dunia imaji sampai pada menghasilkan‭ ‘‬disorientasi‭’ ‬dari manusia di akhir modernitas.‭ ‬Artinya membuat mereka tidak lagi terarahkan pada penguasa tunggal makna dan kebenaran melainkan pada berbagai sumber kebenaran dan makna.‭ ‬Disorientasi dalam masyarakat media komunikasi membuat individu berosilasi antara keberasalan‭ (‬belonging‭) ‬dirinya dan berbagai sumber tadi.‭ ‬Semakin tampak pula bahwa pencapaian masyarakat transparan itu terjadi bukan dalam konteks keterputusan dengan modernitas.‭ ‬Postmodernitas tidak dapat didefinisikan sebagai sebuah babakan baru dalam sejarah.‭ ‬Mengartikannya seperti itu hanya akan membawa kembali paham sejarah unilinier yang sudah terbukti bermasalah.‭ ‬Postmodernitas,‭ ‬sebagai konteks terjadinya masyarakat transparansi,‭ ‬sebaiknya dipahami sebagai sebuah pelarutan‭ (‬dissolution‭)‬22‭ ‬modernitas.‭ ‬Postmodernitas memang mengandung jejak-jejak modernitas yang sekaligus menempatkannya dalam arahan baru yang meninggalkan segala reduksi metafisis atas kemanusiaan seperti yang sudah dijelaskan di atas.‭ ‬Jejak modern masih akan diteruskan sambil mengganti corak reduktif akarnya dengan corak estetis kebenaran postmodernisme.‭ ‬Mengapa corak estetis‭? ‬Karena lewat pengalaman estetislah manusia mampu menyadari kontingensi dan relativitas dunia yang nyata dihidupinya.23‭


V.‭ ‬Kebenaran Estetis Postmodernisme‭


Demitologisasi demitologisasi‭


Pengalaman kebenaran dalam postmodernisme dilihat oleh Vattimo paling tampak hadir dalam fenomena‭ ‬estetika.‭ ‬Seni dan budaya memang sering menjadi petunjuk sejarah yang memunculkan fenomena postmodernitas.‭ ‬Awal dari semua itu oleh Vattimo diletakkan pada usaha modernisme untuk mendemitologisasikan mitos-mitos peradaban yang dianggapnya‭ ‘‬primitif‭’ ‬dan berlawanan dengan sains modern.‭ ‬Perubahan pandangan tentang‭ ‬mitos ini terjadi ketika paham sejarah unilinier yang menyertainya mulai kehilangan legitimasinya.‭ ‬Seiring dengan perubahan pandangan tentang sejarah ini timbul pula usaha untuk mendemitologisasikan demitologisasi mitos-mitos‭ ‘‬primitif‭’‬.‭


Jika selama ini demitologisasi mitos diarahkan pada‭ ‬telos dalam paham sejarah unilinier,‭ ‬lalu‭ ‬telos itu sekarang ditiadakan,‭ ‬maka apa yang selanjutnya dapat dilakukan terhadap demitologisasi mitos‭ (‬mitos modernitas‭)? ‬Vattimo mengusulkan untuk memperlakukannya seperti yang dikatakan oleh Nietzsche,‭ ‬yaitu sebagai ekspresi nasib‭ (‬destiny‭)‬,‭ ‬sebagaimana halnya setiap kebudayaan dalam era modernitas mengalami proses sekularisasi‭ ‬24.‭ ‬Artinya demitologisasi mitos yang dilakukan modernitas,‭ ‬yang dalam kacamata posmodernitas menjadi mitos,‭ ‬sekarang sebaiknya dipahami sama seperti nasib mitos‭ ‘‬kuno‭’ ‬yang sudah didemitologisasikan,‭ ‬disekularisasikan dalam modernitas.‭ ‬Jadi dalam postmodernitas,‭ ‬mitos modernitas tidak diperlakukan sama seperti cara modernitas memperlakukan mitos kuno.‭ ‬Melainkan diperlakukan secara baru dengan menginterpretasikannya sebagai sebuah jejak yang sudah terdistorsi dari kesalahannya dan menjadi titik tolak baru untuk maju lagi.‭ ‬Demikianlah dekonstruksi postmodernis terhadap mitos.


Esensi Seni Postmodernisme‭


Pandangan postmodernisme terhadap mitos yang sama nantinya berpengaruh pada apa yang kemudian ditampakkan dalam seni.‭ ‬Seni,‭ ‬dalam postmodernisme,‭ ‬dengan perubahan pandangan di atas,‭ ‬mempunyai esensi baru.‭ ‬Seni dalam esensinya yang baru itulah yang akan menunjukkan corak kebenaran postmodernis.‭ ‬Seiring dengan munculnya masyarakat media komunikasi,‭ ‬seni di masa modernitas akhir semakin tampil semata sebagai obyek konsumerisme dalam bentuk reproduksi teknis.‭ ‬Disinilah timbul permasalahan tentang kapan seni dapat menjadi diri sendiri dalam bentuk reproduksi teknis.25‭ ‬Meminjam istilah dari‭ ‬Walter Benjamin,‭ ‬shock,‭ ‬Vattimo menggambarkan esensi baru seni dalam titik pelarutan modernitas ini adalah dengan melihatnya seperti penonton film yang harus selalu siap dengan gambar yang terus berkelanjutan di layar atau seperti pejalan kaki yang selalu harus waspada di lalu lintas kota yang padat‭ ‬26.‭ ‬Vattimo juga meminjam istilah‭ ‬Heidegger,‭ ‬Stoss,‭ ‬yang menurutnya menjadi analogi untuk esensi baru seni dengan sifatnya yang sama seperti kecemasan seseorang akan kematiannya dalam kehidupan di dunia‭ ‬27.‭ ‬Kedua istilah tersebut menunjukkan bahwa seni sekarang condong kepada perilaku yang disorientatif dan sekaligus juga konstitutif.‭ ‬Disorientatif berarti tidak tertuju pada suatu arahan tertentu.‭ ‬Sementara konstitutif berarti membangun sebuah dunia makna baru.‭ ‬Seni yang ber-disorientasi konstitutif berarti ia tidak diletakkan dalam suatu kerangka makna tertentu sebagai tujuan pembentukannya melainkan seni itu sendirilah yang membangun sendiri dunia maknanya.‭


Seni postmodern adalah seni yang sekaligus‭ ‬disorientatif dan‭ ‬konstitutif.‭ ‬Artinya ia membangun‭ (‬Her-stellung/‭ ‬the setting up‭) ‬dunia makna yang selalu baru dalam karyanya yang mengemukakan‭ (‬Auf-stellung/‭ ‬the setting forth‭) ‬bumi sebagai akar,‭ ‬sumbernya,‭ ‬yang penuh dengan hal-hal tidak jelas dan tidak bermakna.‭ ‬Keberakaran dalam ketidakjelasan itulah yang menimbulkan perbedaan antara seni modern dan postmodern.‭ ‬Seni postmodern tidak lagi berusaha membuat sistem‭ ‬rasionalisasi bumi.‭ ‬Itu pula yang menimbulkan kebaruan terus-menerus pada seni itu sendiri sehingga ia selalu terdisorientasi dan selalu mengadakan‭ ‘‬osilasi‭’ ‬28‭ ‬dari satu akarnya di bumi ke akar yang lain supaya bisa terus membangun dunia maknanya sendiri.‭ ‬Itulah esensi baru seni postmodernitas:‭ ‬disorientasi konstitutif dan‭ ‬osilasi.‭ ‬Dengan demikian seni postmo terletak bukan pada karyanya secara material tetapi pada pengalaman konflik terus-menerus antara‭ ‘‬dunia makna‭’ ‬dan‭ ‘‬akar‭’‬-nya di bumi.‭ ‬Demikian pula esensi seni yang baru itu kemudian menampakkan Ada dan kebenaran postmodernitas‭ (‬yang terlepas dari unsur-unsur metafisis‭) ‬sebagai‭ ‘‬perancangan-kedalam-karya kebenaran‭’ (‬setting-into-work of truth‭)‬.‭ ‬29‭ ‬Istilah Heidegger ini menunjukkan bahwa seni dalam bentuk reproduksi teknis adalah peristiwa penampakan Ada dengan esensi baru yang sudah terdistorsikan dan diletakkan dalam dunia makna sebagai cermin dari keberakarannya pada bumi.


Heterotopia Kebenaran‭


Seni dengan demikian tidak lagi berarti sebagai yang selalu mempertahankan harmoni dan kesempurnaan karyanya.‭ ‬Perubahan esensi seni yang menampakkan Ada dan kebenarannya di era postmodernitas,‭ ‬atau modernitas akhir.‭ ‬Perubahan esensi itu juga merubah apa yang dulunya dianggap sebagai‭ ‬utopia menjadi‭ ‬heterotopia.‭ ‬Utopia bagi Vattimo berarti bahwa seni selalu diarahkan untuk menjadi semacam rehabilitasi,‭ ‬penyempurnaan estetis dari segala macam pengalaman hidup.‭ ‬Untuk itu seni selalu dirancang,‭ ‬didesain supaya bisa tampil sempurna dan mempunyai standarnya sendiri.‭ ‬Perubahannya menjadi heterotopia terlaksana seiring dengan tersingkapkannya bias ideologis Barat sebagai ukuran yang dipakai untuk kesempurnaan seni itu.‭ ‬Kesadaran ini mendistorsikan utopia dan mentransformasikannya menjadi arahan untuk menyingkapkan kemampuan suatu karya dalam membuat dunia maknanya sendiri,‭ ‬komunitasnya sendiri.


Gadamer,‭ ‬yang diikuti Vattimo,‭ ‬mengatakan bahwa keindahan itu adalah keberasalan dalam suatu komunitas subyek yang sama-sama mengalami obyek‭ (‬dalam pembebasan ornamennya‭) ‬dan sama-sama menyebutnya sebagai‭ ‘‬indah‭’‬30.‭ ‬Utopia menjadi heterotopia karena pusat keindahan kemudian adalah pembentukan komunitas-komunitas keindahan yang masing-masing mempunyai dunia maknanya sendiri,‭ ‬dunia simbolisasinya sendiri.‭ ‬Pertukaran makna antar komunitas itulah yang kemudian akan ditentukan oleh pasar.‭ ‬31‭ ‬Dengan demikian semakin tampak bagaimana esensi baru seni menunjukkan Ada bukan dalam struktur yang statis tetapi sebagai sesuatu yang selalu sedang menjadi.‭


Heterotopia utopis itu hadir dalam bentuknya yang mengekstremkan secara radikal berbagai implikasi modernisme.‭ ‬Vattimo menyebutnya sebagai‭ ‬heterotopia yang penuh negativitas32.‭ ‬Karena implikasi itu timbul sebagai akibat dari terlalu sempurnanya perasionalisasian dunia modern yang menginginkan tercapainya sebuah totalitas sistem pemikiran metafisis.‭ ‬Begitu sempurnanya proses itu sehingga justru menimbulkan‭ ‘‬lawan finalitas akal‭’ (‬counter finality of reason‭)‬.‭ ‬Lawan finalitas akal ini menyebabkan kesadaran bahwa emansipasi dan humanisasi yang semula menjadi motivasi kemudian justru menjadi sasaran yang terus-menerus diserang teknologi.‭ ‬Adorno dan Horkheimer berpendapat bahwa jalan keluar dari dilema ini adalah dengan membebaskan diri dari tekanan sistem ekonomi kapitalis masyarakat yang cenderung menggunakan rasio sebagai‭ ‬instrumen kalkulatif33.‭ ‬Senada dengan ini,‭ ‘‬lawan finalitas akal‭’ ‬bermaksud untuk bertindak lebih dalam lagi.‭ ‬Bukan hanya bersifat menolak,‭ ‬utopia yang baru ini juga bersifat inventoris atas segala sesuatu yang nostalgis dan ironis dari utopia.‭ ‬Artinya ia membawa serta jejak dari yang lama sembari meneruskannya dalam arah yang baru,‭ ‬yang mau membebaskan manusia dari paham kemajuan sejarah unilinier.‭ ‬Paham sejarah yang sebaiknya dipakai dalam heterotopia ini adalah paham sejarah yang juga menggali kekayaan masa lalu yang ironis itu sambil juga mendistorsinya.‭ ‬Dari paham sejarah macam itu semakin tampak bagaimana modernitas yang melarut dan yang sering disebut postmodernitas itu mempunyai ciri nihilistik.‭


VI.‭ ‬Masyarakat Transparan:‭ ‬Sebuah Harapan‭


Sudah dikemukakan sebelumnya bahwa ciri nihilistik postmodernisme terletak pada semakin ditekankannya usaha untuk mencapai intertekstualitas makna dari tiap individu.‭ ‬Ketika sistem rasional diragukan kemutlakannya dalam modernitas akhir,‭ ‬individu tidak lagi dapat memaksakan suatu tindakan atas dasar alasan yang logis dan meyakinkan.‭ ‬Yang terjadi kemudian dalam disilusi modernitas adalah transformasi hubungan antara teori dan praksis.‭ ‬Tidak diyakini lagi perlunya teori sebagai dasar kokoh untuk praksis.34‭ ‬Ketika jaminan metafisis dihapus yang tinggal adalah individu-individu yang berkemampuan untuk menghasilkan simbol-simbol‭ ‬non ideologis.‭ ‬Itulah yang mau diteruskan sebagai implikasi positif modernitas

Apakah ini berarti yang ingin diusahakan adalah kesetaraan‭? ‬Karena jika demikian,‭ ‬bukankah dalam usaha tersebut akan timbul perang kehendak akan kuasa makna sebagaimana yang secara implisit juga ditunjukkan oleh Nietzsche‭? ‬Vattimo,‭ ‬berlawanan dengan Nietszche yang mengatakan bahwa nihilisme tidak bertujuan untuk menciptakan kesetaraan melainkan menciptakan manusia-manusia moderat‭ ‬35,‭ ‬mengatakan bahwa modernitas yang nihilistik itu memuat nilai kesetaraan individu apabila disertai dengan komitmen pada pemikiran yang lemah tentang adaan dan disertai dengan kesadaran akan adanya jejak‭ ‘‬Yang Lain‭’ ‬pada tiap individu yang membuatnya setara36.‭ ‬Komitmen itulah yang menjadi karakter etis dari posmodernitas dan filsafatnya,‭ ‬hermeneutika.

Vattimo menjelaskan unsur etis hermeneutika itu dengan berpijak dari pandangan Gadamer37‭ ‬yang mengatakan bahwa alasan kebenaran tindakan seseorang adalah horison sosialitasnya,‭ ‬logos-nya atau bahasa alamiah komunitas historis.‭ ‬Filsafat hermeneutika dengan tugasnya menginterpretasi‭ (‬menerjemahkan beragam logoi pada logosnya‭) ‬mengandung muatan etika nilai‭ (‬term dari Schleiermacher:‭ ‬ethics of goods‭) ‬karena membawa ke permukaan berbagai nilai dasar suatu komunitas.‭ ‬Ini tidak berarti mempertahankan dan kembali pada struktur statis metafisis.‭ ‬Karena nilai dasar itu memang tetap tetapi‭ ‬logos yang memuatnya selalu dalam keadaan‭ ‘‬sedang menjadi‭’ ‬bersama komunitasnya.‭ ‬Karakter etis hermeneutika,‭ ‬dengan demikian terletak pada‭ ‬logos.


Permasalahannya menurut Vattimo justru terletak pada‭ ‬logos,‭ ‬yang karena kandungan nilai dasarnya,‭ ‬harus bersifat historis.‭ ‬Hermeneutika sendiri,‭ ‬karena berpatokan pada‭ ‬logos yang selalu sedang menjadi bersama komunitas,‭ ‬tampil ahistoris.‭ ‬Vattimo mengakui bahwa dilema yang dihadapi hermeneutika ini masih terbuka.‭ ‬Namun demikian,‭ ‬kesulitan ini masih lebih bisa diterima dibandingkan dengan kesulitan yang dihadapi oleh etika komunikasi‭ ‬Habermas dan Karl Otto Apel yang menjadi alternatif bagi postmodernitas.‭ ‬Keberatan utama Vattimo atas pandangan etika komunikasi‭ (‬terutama dalam pandangan Habermas38‭) ‬adalah karena dalam teorinya tentang komunikabilitas dan intersubyektivitas manusia sebagai penunjuk ke arah nilai etis,‭ ‬ditekankan sains sebagai satu-satunya manifestasi utama perwujudan eksistensi manusia.‭ ‬Maka pandangan ini mempertahankan benar sains metafisis modern yang ingin ditolak oleh postmodernitas.‭


Hermeneutika,‭ ‬sebaliknya,‭ ‬memaknai intersubyektivitas yang dikumandangkan etika komunikasi sebagai keberasalan‭ (‬belonging‭) ‬historis subyek.‭ ‬Justru karena nasib hermeneutika sebagai keberasalan itulah terjadi intersubyektivitas etis dalam bentuk saling tukar reinterpretasi antar interlokutor.‭ ‬Nasib hermeneutika adalah bahwa ia berasal pada pemikiran di akhir metafisika,‭ ‬di mana kebenaran bukan lagi struktur definitif metafisis eksistensi melainkan tanggapan yang tepat atas kesadaran diri sebagai bagian dari nasib.‭ ‬Pandangan Vattimo ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Heidegger bahwa akibat dari‭ ‬Ge-stell adalah terbebaskannya subyek dalam teknologi komunikasi informasi sebagai pencetus kebenaran.‭ ‬Nihilisme akibat teknologi mekanis ini memungkinkan hermeneutika mencapai inklinasi etisnya.‭ ‬Sama halnya pula seperti nihilisme Nietzsche yang mengemukakan bahwa‭ ‘‬dunia pada akhirnya akan menjadi dongeng‭’‬39,‭ ‬modernitas akhir akan memunculkan bukan realitas fakta‭ (‬dalam pengertian modernitas‭) ‬tetapi realitas yang sudah diperlemah menjadi interpretasi-interpretasi.‭


VII.‭ ‬Penutup‭


Menutup pemikiran Gianni Vattimo,‭ ‬dapat disimpulkan bahwa masyarakat transparan adalah masyarakat yang mampu mengemansipasikan sendiri kebenarannya sesuai dengan lokus hidupnya.‭ ‬Itu dicapai dengan pemakaian filsafat ontologi hermeneutika.‭ ‬Adalah tugas filsafat ini untuk terus menginterpretasikan berbagai macam identitas kebenaran individu demi mendapat kebenaran yang sesuai dengan jaman dan pengalaman hidup manusia.

Cara penginterpretasian yang dapat membantu menurut Vattimo adalah dengan mendekati pengalaman kebenaran hidup manusia secara estetis.‭ ‬Karena itu,‭ ‬estetis pulalah corak kebenaran di era posmodernitas.‭ ‬Vattimo tidak bermaksud untuk menciptakan babakan baru tentang postmodernitas.

Dalam‭ ‬The Transparent Society,‭ ‬tampak bagaimana ia semakin menggunakan term‭ ‘‬postmodern‭’ ‬dalam arti perenovasian modernitas.‭ ‬Meski juga sering menggunakan term‭ ‘‬modernitas akhir‭’‬,‭ ‬ia mengatakannya bukan dalam arti keterputusan dengan modernitas,‭ ‬melainkan demi menentukan dengan tepat perbedaan yang ingin dicapai dalam era modernitas yang baru,‭ ‬yang sering disebut dengan istilah postmodernitas.‭ ‬Tekanan Vattimo justru lebih pada pengetengahan unsur-unsur baru modernitas yang dimaksudkan untuk meluruskan era modernitas dari kesalahan-kesalahannya.‭ ‬Menyadari kerumitan kontradiksi-kontradiksi yang dihadapi oleh tuntutan postmodernitas,‭ ‬Vattimo dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak ingin membuat klaim kebenaran suatu pemikiran postmodernis yang sistematis dan definitif.‭ ‬Yang ingin disumbangkan oleh Vattimo dengan pemikirannya adalah suatu jalan,‭ ‬betapapun‭ ‘‬lemah‭’‬-nya jalan itu,‭ ‬untuk mengalami sendiri pengalaman kebenaran bukan sebagai obyek yang sudah mapan,‭ ‬statis,‭ ‬tetapi sebagai sebuah horison,‭ ‬latar belakang,‭ ‬yang memungkinkan individu untuk bertindak dengan bijaksana.‭ ‬Dengan kata lain,‭ ‬ia ingin menyumbangkan sebuah harapan rekonsiliasi.‭


Daftar Pustaka:

  ‭ ‬Alexander,‭ ‬Jeffrey C.‭ ‬dan Seidman,‭ ‬Steven‭ (‬ed.‭)‬,‭ ‬Culture and Society:‭ ‬Contemporary Debates,‭ ‬New York:‭ ‬Cambridge University Press,‭ ‬1990.‭
‬  ‭ ‬Bertens,‭ ‬Kees,‭ ‬Filsafat Barat Abad XX:‭ ‬Inggris‭ – ‬Jerman,‭ ‬Seri Filsafat Atma Jaya‭ ‬1,‭ ‬Jakarta:‭ ‬Gramedia,‭ ‬1990.‭
‬  ‭ ‬http://www.Sociologyonline.co.uk/PopGianni.htm‭
‬  ‭ ‬http://www.emsf.rai.it/biografie/anagrafico.asp?d‭=‬255‭
‬  ‭ ‬Sims,‭ ‬Stuart‭ (‬edit.‭)‬,‭ ‬The Icon Critical Dictionary of Postmodern Thought,‭ ‬Great Britain:‭ ‬Icon Books,‭ ‬1998.‭
‬  ‭ ‬Sindhunata,‭ “‬Nietzsche si Pembunuh Tuhan,‭” ‬seperti dimuat dalam majalah‭ ‬BASIS No.‭ ‬11-12,‭ ‬tahun ke-49,‭ ‬November‭ ‬-‭ ‬Desember‭ ‬2000.‭
‬  ‭ ‬Smart,‭ ‬Barry,‭ ‬Postmodernity:‭ ‬Key Ideas,‭ ‬London:‭ ‬Routtledge,‭ ‬1993.‭
‬  ‭ ‬Vattimo,‭ ‬Gianni‭; ‬Webb,‭ ‬David‭ (‬terj.‭)‬,‭ ‬The Transparent Society,‭ ‬Baltimore:‭ ‬The John Hopkins University Press,‭ ‬1992.‭
‬  ‭ ___; ‬Snyder,‭ ‬Jon R.‭ (‬terj.‭)‬,‭ ‬The End of Modernity:‭ ‬Nihilism and Hermeneutics in Post-modern Culture,‭ ‬Polity Press,‭ ‬1988.‭
‬  ‭ ‬Webster,‭ ‬Frank,‭ ‬Theories of the Information Society,‭ ‬London:‭ ‬Routledge,‭ ‬1995.

Catatan Kaki

  ‭ ‬* Penulis adalah mahasiswa STF Driyarkara.‭
‬  ‭ ‬[1‭]‬ Barry Smart mengisyaratkan pertanyaan yang sama dalam usahanya untuk menemukan kejelasan makna postmodernisme.‭ ‬Untuk lebih jelasnya ia mengatakan,‭ “‬In contrast to contributions which argue that postmodernity is a redundant term,‭ ‬inappropriate and/or unnecessary for understanding contemporary social,‭ ‬cultural and political conditions,‭ ‬there are a growing number of analyses which identify aspects of the circumstances we encounter,‭ ‬the experiences we share,‭ ‬and the difficulties we confront,‭ ‬as‭ ‘‬postmodern‭’‬,‭ ‬in other words as not reducible simply to a preexisting and/or evolving modernity.‭”‬ (Smart,‭ ‬Barry,‭ ‬Postmodernity:‭ ‬Key Ideas,‭ ‬London:‭ ‬Routledge,‭ ‬1993,‭ ‬hlm.‭ ‬13‭)‬.‭
‬  ‭ ‬[2‭]‬ Gianni Vattimo sendiri menggambarkan usahanya sebagai berikut:‭ “‬…one of the constant themes of this book is the need to open up a non-metaphysical conception of truth not so much on the basis of a positivistic model of scientific knowledge as,‭…‬,‭ ‬on the basis of either an experience of art or the model of rhetoric instead.‭”‬ (Vattimo,‭ ‬Gianni,‭ ‬The End of Modernity,‭ ‬Polity Press,‭ ‬Cambridge,‭ ‬UK,‭ ‬1988,‭ ‬hlm.‭ ‬12‭)‬.‭
‬  ‭ ‬[3‭]‬ Yang dimaksud dengan‭ ‘‬arah baru‭’ ‬oleh Vattimo adalah menempatkannya dalam konteks postmodernitas.‭ ‬Lihat misalnya pendapatnya tentang hlm.‭ ‬ini dalam‭ ‬The End of Modernity hlm.‭ ‬1,‭ “‬At the same time,‭ ‬if Nietzsche’s and Heidegger’s philosophical intuitions are to appear once and for all...,‭ ‬they may do so only in relation to those things that are revealed by post-modern reflection on the new conditions of existence in the late industrial world.‭”‬
  ‭ ‬4‭ ‬Pengaruh peristiwa ini atas refleksi pemikiran Vattimo dapat dilihat misalnya dalam pemikiran Vattimo tentang‭ ‘‬demitologisasi‭’ (‬The Transparent Society,‭ ‬hlm.‭ ‬33‭) ‬atau tentang‭ ‘‬heterotopia‭’ (‬The Transparent Society,‭ ‬hlm.‭ ‬62-65‭)
5‭ ‬Vattimo dalam bab pertama bukunya tersebut jelas menunjukkan pembedaan makna transparansi pada postmodernisme.‭ ‬Transparansi bukan diartikan sebagai emansipasi yang diusung oleh modernitas,‭ ‬yang sama artinya dengan‭ ‘‬pemberdayaan rasio‭’‬.‭ ‬Argumen yang dikemukakannya adalah untuk menunjukkan makna‭ ‘‬transparan‭’ ‬dalam konteks postmodern.‭ ‬Lihat judul bab‭ ‬1‭ ‬dalam‭ ‬The Transparent Society,‭ ‬hlm.‭ ‬1,‭ “‬The Postmodern:‭ ‬A Transparent Society‭?”‬ (Vattimo,Gianni,‭ ‬The Transparent Society,‭ ‬Polity Press,‭ ‬1992‭)

‬  ‭ ‬6‭ ‬Keyakinan tentang hubungan postmodern dan modern ini semakin jelas,‭ ‬misalnya Andreas Huyssen yang mengatakan,‭ “‬Modernism as that from which postmodernism is breaking away remains inscribed into very word with which we describe our distance from modernism.‭” (‬Huyssen,‭ ‬Andreas,‭ ‬Mapping the Postmodern,‭ ‬yang termuat dalam Alexander,‭ ‬Jeffrey C.‭ ‬dan Seidman,‭ ‬Steven‭ (‬ed.‭)‬,‭ ‬Culture and Society:‭ ‬Contemporary Debates,‭ ‬Cambridge University Press,‭ ‬New York,‭ ‬1990,‭ ‬hlm.‭ ‬355‭)‬.‭ ‬Senada dengan itu juga,‭ ‬Barry Smart mengatakan,‭ “‬But rather than conceive of postmodernity as a periode or epoch,‭ ‬the term might more appropriately be employed,‭ …‬,‭ ‬to describe the condition of recognition of that subtle peril,‭ ‬in effect to denote a way of relating to the limits and limitations of modernity,‭ ‬a way of living with the realisation that the promise of modernity to deliver order,‭ ‬certainty and security will remain unfulfilled.‭” (‬Postmodernity:‭ ‬Key Ideas,‭ ‬hlm.‭ ‬26-27‭)‬.‭ ‬Begitu pula hlm.nya dengan Vattimo sendiri yang melihat postmodernitas sebagai‭ ‘‬akhir modernitas‭’ ‬dalam pernyataannya,‭ “‬The‭ ‘‬post-‭‘ ‬in the term‭ ‘‬postmodern‭’ ‬indicates in fact a taking leave of modernity.‭ ‬In its search to free itself from the logic of development inherent in modernity‭… ‬postmodernity seeks exactly what Nietzsche and Heidegger seek in their own peculiar‭ ‘‬critical‭’ ‬relationship with western thought.‭” (‬The End of Modernity,‭ ‬hlm.‭ ‬3‭)

‬  ‭ ‬7‭ ‬Yang dimaksud Vattimo dengan‭ ‘‬alasan-alasan metafisis‭’ ‬disini adalah seperti yang dikemukakan oleh Heidegger.‭ ‬Lebih jelasnya dikatakan dalam pengantar oleh Jon R Snyder bahwa metafisika yang dimaksud oleh Vattimo adalah,‭ “…‬a philosophical system of thought that is‭ ‘‬always lead by the question of logical truth‭’ ‬and the use of reason.‭” ( ‬The End of Modernity,‭ ‬hlm.‭ ‬xv‭)
‬  ‭ ‬8‭ ‬Oleh karena itu Vattimo juga mengartikan postmodernitas sebagai pengalaman berakhirnya sejarah unilinier tersebut dan bukan sebagai pengalaman kemunculan suatu tahapan baru dalam sejarah.‭ ‬Untuk hlm.‭ ‬ini ia sering menggunakan istilah‭ ‘‬post-history‭’ ‬yang dipinjamnya dari Arnold Gehlen.‭ ‬Bdk.‭ ‬The End of Modernity,‭ ‬hlm.‭ ‬7,‭ ‬10-11.‭
‬  ‭ ‬9‭ ‬Untuk penerjemahan istilah-istilah yang dipakai Heidegger,‭ ‬penulis mengikuti terjemahan yang dibuat oleh Kees Bertens,‭ ‬sebagaimana termuat dalam Kees Bertens,‭ ‬Filsafat Barat Abad XX:‭ ‬Inggris‭ –‬Jerman,‭ ‬Seri Filsafat Atma Jaya‭ ‬1,‭ ‬Jakarta:‭ ‬Gramedia,‭ ‬1990.‭
‬  ‭ ‬10‭ ‬Bdk.‭ ‬Sindhunata,‭ “‬Nietzsche si Pembunuh Tuhan‭” ‬yang dimuat dalam majalah‭ ‬BASIS,‭ ‬no.‭ ‬11-12,‭ ‬tahun ke-49,‭ ‬November-Desember‭ ‬2000,‭ ‬hlm.‭ ‬9‭
‬  ‭ ‬11‭ ‬Vattimo menyebutkan bahwa Heideggerlah yang menunjukkan ciri nihilistik hermeneutika dengan menunjukkan hubungan antara Ada dan bahasa dalam analisisnya tentang Dasein sebagai sebuah‭ ‘‬totalitas hermeneutika‭’ ‬dan dalam analisa tentang‭ ‬An-denken.‭ ‬Lih.‭ ‬The End of Modernity,‭ ‬hlm.‭ ‬113-128.‭
‬  ‭ ‬12‭ ‬Ibid.‭ ‬hlm.‭ ‬7-10‭
‬  ‭ ‬13‭ ‬Ibid.‭ ‬hlm.‭ ‬26‭
‬  ‭ ‬14‭ ‬Definisi Vattimo tentang humanisme adalah perspektif yang menempatkan kemanusiaan sebagai pusat jagad raya dan menempatkannya sebagai penguasa Ada.‭
‬  ‭ ‬15‭ ‬Ibid.‭ ‬hlm.‭ ‬32-33,‭ ‬40‭
‬  ‭ ‬16‭ ‬Bdk.‭ ‬The Transparent Society,‭ ‬hlm.‭ ‬26,‭ “‬The self-transparency to which we are at present being led by the ensemble of media and human sciences seems to be nothing more than the exposure of pluralism,‭ ‬of the mechanisms and inner fabric of our culture‭…‬”
  ‭ ‬17‭ ‬Ibid.‭ ‬hlm.‭ ‬2-4‭

‬  ‭ ‬18‭ ‬Senada dengan ini,‭ ‬Frank Webster mengatakan,‭ “‬…We do not live in a world about which we have information.‭ ‬On the contrary,‭ ‬we inhabit a world which is informational.‭” (‬Theories of The Information Society,‭ ‬hlm.176‭)
‬  ‭ ‬19‭ ‬Karl Otto Apel adalah seorang filsuf yang menempatkan seluruh masyarakat dan moralitas dalam pandangannya tentang‭ “‬komunitas komunikasi tak terbatas‭” ‬yang di dalamnya diberlakukan suatu meta-peraturan yang memungkinkan beragam permainan bahasa,‭ ‬sebagai ganti dari imperatif kategoris model Kant.‭ ‬Ia berpijak dari Peirce,‭ ‬C.S.‭ ‬dengan teorinya tentang‭ ‘‬logical socialism‭’ ‬yang mengatakan bahwa pengetahuan perlu secara sempurna menjadi transparan sehingga mentransformasikan masyarakat menjadi semacam subyek saintifik.‭ ‬Apel mengatakan bahwa ilmu pengetahuan sosiallah yang menjadi tahap penentu dalam mewujudkan‭ ‘‬logical socialism‭’‬ ini.‭ (‬bdk.‭ ‬The Transparent Society,‭ ‬hlm.18-19‭)

‬  ‭ ‬20‭ ‬Frank Webster mengatakan bahwa postmodernisme mendapatkan karakter intelektual pembentukkannya ketika ia menolak modernisme yang mentotalisasikan segala perkembangan sosial ataupun tingkah laku personal.‭ ‬Postmodernisme sebagai gantinya menawarkan bentuk rasionalitas yang mau membebaskan berbagai macam analisa,‭ ‬penjelasan dan interpretasi yang berbeda-beda.‭ ‬Lih.‭ ‬Theories of Information Society,‭ ‬hlm.165-168.‭
‬  ‭ ‬21‭ ‬Emansipasi yang sesungguhnya ingin dikemukakan oleh Vattimo lewat masyarakat media komunikasi adalah emansipasi yang didasarkan atas osilasi,‭ ‬pluralitas dan pelemahan prinsip dasar realitas.‭ ‬Lih.‭ ‬The Transparent Society,‭ ‬hlm.7.‭ ‬22‭ ‬Ada beberapa istilah lain untuk maksud serupa dalam pemikiran tentang postmodernitas.‭ ‬Andreas Huyssen misalnya mengistilahkannya sebagai‭ ‬whithering postmodernism dalam tulisannnya yang berjudul‭ ‬Mapping the postmodernism sebagaimana dimuat dalam buku‭ ‬Culture and Society:‭ ‬Contemporary Debates hlm.‭ ‬371.‭
‬  ‭ ‬23‭ ‬Bdk.‭ ‬The Transparent Society,‭ ‬hlm.‭ ‬10‭
‬  ‭ ‬24‭ ‬Vattimo meminjamnya dari Nietzsche dalam karangannya yang berjudul‭ ‬Gay Science.‭ ‬Untuk lebih jelasnya lih.‭ ‬The Transparent Society hlm.‭ ‬40‭
‬  ‭ ‬25‭ ‬Ibid.‭ ‬hlm.48‭
‬  ‭ ‬26‭ ‬Ibid.‭ ‬hlm.‭ ‬49‭
‬  ‭ ‬27‭ ‬ibid.‭ ‬hlm.‭ ‬50‭
‬  ‭ ‬28‭ ‘‬Osilasi‭’ ‬dalam konteks Vattimo diartikan sebagai ke-fleksibel-an untuk berayun layaknya tali pendulum,‭ ‬untuk berpindah dari satu titik ke titik lainnya.‭ ‬Makna ayunan pada setiap titik itu berbeda-beda sesuai dengan‭ ‬locus titik yang diraih pada setiap kesempatan.‭ ‬Dengan konsep osilasi seni ini Vattimo mau menunjukkan bagaimana eksistensi pengada dalam senja modernitas adalah layaknya pengalaman estetis.‭ ‬Karena setiap pengalaman eksistensi mendapat maknanya sesuai dengan‭ ‬locus tempat dan waktu menjadinya.‭
‬  ‭ ‬29‭ ‬Disini Vattimo berpijak pada Heidegger dalam karyanya‭ ‬Der Ursprung des Kunstwerkes‭ (‬The Origin of The Work of Art‭)‬.‭ ‬Untuk lebih jelasnya lih.‭ ‬The Transparent Society hlm.‭ ‬51.‭
‬  ‭ ‬30‭ ‬Vattimo disini berpijak pada pendapat Gadamer dalam karyanya,‭ ‬The Relevance of The Beautiful,‭ ‬terjemahan dari N.‭ ‬Walker,‭ ‬Cambridge Univ.‭ ‬Press,‭ ‬1986.‭
‬  ‭ ‬31‭ ‬Tentang hlm.‭ ‬ini,‭ ‬Vattimo mengatakan,‭ “‬In the end it is the market itself,‭ ‬where objects circulate that have demythologized the reference to use value and have become pure exchange value‭ – ‬not necessarily monetary exchange alone,‭ ‬but also symbolic exchange,‭ ‬as status symbols and tokens of group recognition‭” (‬The Transparent Society,‭ ‬hlm.70‭)‬.‭
‬  ‭ ‬32‭ ‬Lih.‭ ‬The Transparent Society hlm.‭ ‬76-78.‭ ‬Contoh yang dikemukakan Vattimo tentang negativitas heterotopia itu misalnya seperti yang tampak dalam novel karya Fritz Lang,‭ ‬Metropolis‭ (‬1926‭); ‬karya George Orwell,‭ ‬Nineteen Eighty Four‭ (‬1948‭); ‬karya A.‭ ‬Huxley,‭ ‬Brave New World‭ (‬1932‭)‬.‭ ‬Atau pula sinematografi karya Ridley Scott,‭ ‬Blade Runner‭ (‬1983‭)‬,‭ ‬dan sinematografi model‭ ‬Escape from New York‭ (‬1997‭) ‬serta‭ ‬The Planet of The Apes‭ (‬1979‭) ‬yang kesemuanya bercorak post-apokaliptik.‭
‬  ‭ ‬33‭ ‬Vattimo berpijak pada pendapat Adorno dan Horkheimer yang termuat dalam bukunya‭ ‬Dialectic of Enlightenment‭ (‬1947‭)‬.‭
‬  ‭ ‬34‭ ‬Bdk.‭ ‬The Transparent Society:‭ ‬VII.‭ ‬Disenchantment and Dissolution,‭ ‬hlm.‭ ‬90-104‭
‬  ‭ ‬35‭ ‬Vattimo berpijak pada karya Nietzsche yang berjudul‭ ‬Nachgelassene Fragmente:‭ ‬Herbst‭ ‬1885‭ ‬bis‭ ‬1887‭ ‬sebagaimana disadurnya dalam‭ ‬The Transparent Society,‭ ‬hlm.‭ ‬96.‭
‬  ‭ ‬36‭ ‬Disini Vattimo meminjam pemikiran Levinas,‭ ‬untuk lebih jelasnya lih.‭ ‬The Transparent Society,‭ ‬hlm.101‭
‬  ‭ ‬37‭ ‬Vattimo meminjam argumen Gadamer dari karyanya yang berjudul‭ ‬Truth and Method.‭ ‬Lih.‭ ‬The Transparent Society,‭ ‬hlm.‭ ‬105-119.‭ ‬Atas dasar dari argumen Gadamer inilah Vattimo mengatakan,‭ “‬Hermeneutics is constituted from the very beginning as a philosophy led by an inclination for ethics‭…‬”
  ‭ ‬38‭ ‬Pandangan Habermas yang ditentang Vattimo menyatakan bahwa pengalaman manusia itu dimungkinkan karena adanya unsur apriori komunikasi tak terbatas atau tindakan komunikatif.‭ ‬Sebagai syarat dimungkinkannya pengalaman,‭ ‬Habermas menjadikan unsur apriori itu juga sebagai norma tindakan manusia dengan menekankan esensi‭ ‘‬intersubyektif‭’ ‬dari Aku-individu.‭
‬  ‭ ‬39‭ ‬Dalam halaman ini Vattimo mengatakan,‭ “‬In the Ge-stell‭ ‬of information,‭ ‬the world of images of the world,‭ ‬the true world,‭ ‬as Nietzsche said becomes a fable‭; ‬or to use the Heideggerian term,‭ ‬Sage.‭ ‬Hermeneutics is the philosophy of this world in which being is given in the form of weakening or dissolution.‭”‬ (The‭ ‬Transparent Society,‭ ‬hlm.‭ ‬117‭)