Rabu, 17 September 2008

NU

Salah satu faktor yang melatarbelakangi berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) adalah perkembangan politik di Indonesia pada masa prakemerdekaan, khususnya kalangan umat Islam yang kurang memberikan ruang gerak bagi umat Islam yang berlatar bekang pendidikan pesantren.Dalam realitas historisnya, NU memang tidak dapat dilepaskan dari politik. Sejarah perjuangan NU adalah menegakkan pilar-pilar agama dan upaya mencapai kemerdekaan merupakan dua misi yang sama. Gerakan politik NU makin intensif setelah kekuaasaan Belanda secara terus-menerus mengganggu hal-hal yang dipandang sebagai prinsip kehidupan kebangsaan dan keagamaan.

Ketika pemerintah Belanda secara nyata menerapkan kebijakan yang dapat merusak syariat Islam, gerakan politik NU mulai diwujudkan secara kongkrit dengan mendirikan Majlis Islam A’la (MIAI) bersama ormas Islam lain pada 1937. kemudian, pada 1947, NU bersama organsisi lain membentuk partai politik bernama majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Pada awal berdirinya, peran NU dalam Masyumi sangat dominan, karena status NU secara organisatoris sebagai anggota istimewa. Tetapi, dalam perjalanannya, kaum intelektual yang sangat berperan dalam Masyumi berusaha mengurangi kekuasaan dalam keterwakilan NU du lembaga strategis baik salam organsisi maupun pemerintahan. NU sebagai unsur formal Masyumi dan penyumbang suara terbesar tidak mandapatkan tempat yang terhormat sesuai dengan kebesaran sumbangannya (Bahrul Ulum: 2003).

Sejak kongresdi Jogjakarta 1949, Masyumi diubah sedemikian rupa. Majelis Syuro yang merupakan tempat penting bagi para ulama dan pemimpin Islam tidak lagi dijadikan badan legislatif, tetapi hanya sebagai penasihat. Dengan adanya perubahan ini, Masyumi telah berubah sifat dari organsasi yang sebelumnya memberikan posisi penting bagi ulama menjadi organsasi yang tidak menghargai ulama. Akumulasi kekecawaan NU memuncak ketika keinginan NU untuk menempatkan tokohnya menjadi menteri agama dalam kabinet Wilopo tidak dipenuhi. Selain itu, kelompok intelektual berpendidikan barat, yang banyak berperan dalam Masyumi, menganggap orang NU tidak layak untuk bergerak dalam bidang politik (Choirul Anam: 1999)

Kekeceawaan tersebut akhirnya mendorong NU meninggalkan Masyumi atas rokumendasi Muktamar Palembang 1952, kemudian membentuk Partai Politik NU. Denga menjelma menjadi partai politik, NU mendapatkan dua macam keuntungan, yaitu dapat porsi kekuasasan di pentas politik nasional dan memulihkan nama baik setelah di npandang sebelah mata oleh Masyumi. Pada pemilu 1955, partai NU memperoleh hampir 7 juta suara atau sekitar 18,4 persen, menempati urutan ketiga setelah PNI dan Masyumi. Keberhasilan tersebut menunjukkan bahwa NU dapat berjalan sendiri tanpa harus terbebani bayang-bayang Masyumi

Status NU sebagai partai politik bertahan hingga pemilu awal Orde Baru pada 1971. pada pemilu ini NU muncul sebagai pemenang kedua dengan memperoleh 18,7 persen atau 58 kursi. Perolehan yang cukup menarik, dan salah satu faktor penyebabnya adalah NU berakar di pedesaan dan di pimpin oleh para guru yang tidak terikat oleh gaji pemerintah. (Choirul Anam:1999).

Setelah pemilu 1971, Numulai menghadapi persolan karen apemerintahan Orde Baru menganggap bahwa sistem multi parti kurang menjamin terlaksananya pembangunan nasional. Konsekwensinya, perombakan struktur politik harus segera dilakukan dengan melakukan pengelompokan. NU masuk dalam kelompok Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama PSII, Parmusi, dan Perti (Syamsudin Haris: 1991)

Pada masa-masa awal, posisi NU di PPP cukup srategis, tetapi peranaan tokoh-tokoh NU lebih banyak di Majelis Syuro. Kemudian, upaya peminngiran NU dimulai pada pemilu 1982: 29 caleg NU ditempatkan pada urutan terbawah yang tidak mungkin terpilih. Beberapa nama tokoh NU yang di anggap representatif di buang, di ganti dengan nama-nama calon anggota yang bukan prioritas, tetapi berasal dari NU. Penyingkiran tokoh-tokoh NU itu kemudian disebut “de-NU-isasi” (Choirul Anam:1998).

Bagi NU, masuk ke PPP bagaikan masuk ke Masyumi. Intrik dan pembagian kekuasaan yan gtidak proporsional menjadi bibit pertikaian NU dengan PPP. Kondisi tersebut menimbulkan kesadaran untuk melakukan gerakan kembali ke khittah melalui Munas Alim Ulama NU di Situbondo pada tanggal 1983. konsekwensi logis khittah NU adalah penegasan bahwa NU melepaskan keterlibatannya dari politik praktis yang sebelumnya ditekuni secara interns. Dan sejak tiu, NU secara drastis melakukan tranformasi peran penyadaran masyarakat untuk meningkatkan partisipasi politiknya dan memiliki sensitifitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak ada komentar: